RESENSI
IDENTITAS
BUKU
Judul Buku :
5 cm
ISBN :
9797591514
Penulis :
Donny Dhirgantoro
Penerbit :
PT Grasindo
Tahun Terbit :
2007
Tebal Buku :
381 halaman
Harga :
Rp. 60.000
SINOPSIS
Novel ini menceritakan tentang persahabatan 5 orang manusia yang telah menjalin persahabatan selama tujuh tahun. Mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi dan beraktivitas, sampai pada suatu ketika mereka sampai pada titik jenuh dengan aktivitas yang mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan sebuah ide untuk tidak bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dan kelima sahabat tersebut memutuskan untuk melepas rindu dengan mendaki puncak gunung Mahameru. Adapun tokoh atau penokohan dalam novel ini adalah:
Sebuah perjalanan yang penuh dengan keyakinan, mimpi,
cita-cita, dan cinta. Dalam perjalanan tersebut mereka menemukan arti manusia
sesungguhnya. Semuanya terkuak dalam sebuah perjalanan ‘reuni’ mendaki
gunung tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Sebuah petualangan pendakian yang
sangat mengundang kekhawatiran. Perpisahan dan perjalanan yang mereka lewati
ini ternyata telah membuat mereka menjadi manusia yang sesungguhnya, tidak
hanya seonggok daging yang hanya bisa bicara, berjalan, dan punya nama.
Perjalanan tersebut bukan hanya membawa mereka pada petualangan alam yang seru,
tetapi juga petualangan mencari arti sebuah kehidupan ke gunung Mahameru. Di
sepanjang perjalanan menuju Puncak Mahameru, banyak sekali hal-hal yang
menakjubkan yang membuat mereka mengerti akan arti hidup.
Novel ini menceritakan tentang persahabatan 5 orang manusia yang telah menjalin persahabatan selama tujuh tahun. Mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi dan beraktivitas, sampai pada suatu ketika mereka sampai pada titik jenuh dengan aktivitas yang mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan sebuah ide untuk tidak bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dan kelima sahabat tersebut memutuskan untuk melepas rindu dengan mendaki puncak gunung Mahameru. Adapun tokoh atau penokohan dalam novel ini adalah:
Arial, Dia adalah Sosok yang paling ganteng diantara mereka,
karena badannya besar, kulitnya item, Suka basket dan olahraga. Kalo
kemana-mana selalu pake sepatu basket, pokoknya rapi dan sporty.
Riani, Wanita berkacamata, cantik, cerdas dan seorang N-ACH
sejati. Dia adalah satu-satunya wanita diantara kelima sahabat ini. Selalu
dominan dimana-mana, cerewet dan nggak mau kalah sama siapapun juga. Riani
seorang aktivis kampus, siapa aja bisa didebatnya soalnya dia banyak baca dan
banyak belajar. Dia mempunyai cita-cita bekerja di stasiun TV.
Zafran, Seorang penyair yang selalu
bimbang dan jago bikin puisi. Dia juga seorang vokali sebuah band. Badannya
kurus, sekurus kapur tulis, potongan rambut gondrong samping dan depan. Zafran
juga percaya kalo dia sebenarnya punya keturunan darah Achilles (sehabis nonton
film Brad Pitt dan Eric Bana, Troy). Dan dia juga naksir sama Arinda atau Dinda
yang merupakan adik dari Arial.
Ian, Badannya gemuk kepalanya plontos. Ian adalah penggila
bola, apa aja tentang bola dia tahu dan kebanyakan ngabisin waktunya tentang
bola. Suka main Championship Manager atau Winning eleven PS2. Baju bergambar
kartun, celana jins, sama Adidas gazelle buluk adalah kostum sehari-harinya.
Genta, “The Leader”. Genta adalah pemimpin di geng ini, karena
keempat temannya paling nurut sama Genta. Dia berkacamata dan selalu pakai baju
yang ada, pokoknya Genta adalah orang yang nggak macem-macem, tapi pikirannya
penuh macem-macem. Dia juga mengagumi
Riani.
"....Biar keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung
mengambang di depan kamu, cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari
biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan
menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas.
Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja
lebih keras dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdoa. Percaya
pada 5 centimeter di depan kening kamu...."
KELEBIHAN:
Dalam novel ini, terdapat kata-kata atau quote bagus yang membuat kita terinspirasi untuk semangat menjalani kehidupan. Ditambah lagi penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan penempatan setting waktu dan tempat yang sangat detail. Selain itu dalam novel ini juga diceritakan bagaimana perjalanan menuju puncak gunung Mahameru dan menggambarkan keindahan Mahameru.
Dalam novel ini, terdapat kata-kata atau quote bagus yang membuat kita terinspirasi untuk semangat menjalani kehidupan. Ditambah lagi penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan penempatan setting waktu dan tempat yang sangat detail. Selain itu dalam novel ini juga diceritakan bagaimana perjalanan menuju puncak gunung Mahameru dan menggambarkan keindahan Mahameru.
KELEMAHAN:
Di akhir cerita, keadaannya sangat begitu memaksakan, dengan pembentukan keluarga antar sahabat ditambah lagi dengan keturunan-keturunan mereka yang mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dari para orang tuanya. Dalam novel ini terdapat penggalan-penggalan lirik lagu luar atau asing yang menggambarkan keadaan, dan mungkin akan dilewati oleh pembaca. Terlebih jika pembaca masih awam terhadap musik luar, itu membuat mereka sulit memahaminya.
Di akhir cerita, keadaannya sangat begitu memaksakan, dengan pembentukan keluarga antar sahabat ditambah lagi dengan keturunan-keturunan mereka yang mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dari para orang tuanya. Dalam novel ini terdapat penggalan-penggalan lirik lagu luar atau asing yang menggambarkan keadaan, dan mungkin akan dilewati oleh pembaca. Terlebih jika pembaca masih awam terhadap musik luar, itu membuat mereka sulit memahaminya.
KESIMPULAN:
Novel ini sangat cocok untuk dibaca oleh para anak muda,
khususnya kalangan remaja. Karena novel ini menjelaskan kepada kita bagaimana
arti persahabatan. Selain itu novel ini memberitahu kita bahwa Indonesia
mempunyai alam yang indah dan mengajarkan kita untuk selalu mencintai tanah air
yang indah ini, yaitu INDONESIA.
RINGKASAN
Pada
suatu malam lima orang ini berada sedang berada di dalam mobil, mereka dalam perjalanan pulang setelah baru saja makan bubur
ayam di Cikini. Lalu dalam perjalanan tiba-tiba Ian berkata “Wooi mau kemana
lagi nih? Capek nih gue nyetir...muter-muter nggak karuan”. Riani menjawab
“Nonton aja yuk!”.. “Nonton apa? Lagi nggak ada yang bagus...,” Genta males
nonton.. “Shrek 2 aja...,” Arial tiba-tiba berkata. “Udah!!!” Keempatnya
menjawab serentak. Dari mereka berlima memang hanya Arial yang belum nonton
Shrek 2, karena pada saat itu dia sedang sakit tipes sehingga nggak bisa ikut
nonton bareng. “Trus mau ngapain dong...? Ke rumah gue lagi?” Tanya Arial.
“Setuju!!!” Zafran langsung teriak.
Dari keempat temannya hanya Zafran yang paling seneng
kalo kerumah Arial, maklum Zafran dari dulu udah naksir berat sama adiknya
Arial yaitu Arinda atau Dinda.
Karena sudah bingung ingin kemana lagi, akhirnya mereka
berlima sepakat untuk kerumah Arial. Sebelum kerumah Arial, Riani membujuk
teman-temannya untuk patungan beli pizza dan monopoli.
Sesampainya
dirumah Arial, mereka langsung masuk ruang tamu. “Malam, Tante...”. “Oh malam anak-anak.. mau main disini lagi
ya? Untung Tante baru beli singkong keju....”
“Iya, Tante...” “Seneng deh
ketemu kalian lagi”. Lalu Mama Arial tiba-tiba teriak memanggil Arinda, dan
seketika Zafran langsung bengong.
Zafran masih bengong dengan sendiri, masih heran kenapa
setiap kali ketemu Dinda pasti ada Sountrack
Evergreen Love Songs di otaknya, Padahal dia anak band alternatif yang agak
anti lagu cengeng. Dan juga masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia bisa
ngalahin semua bintang sinetron telenovela.
“Alaaa... udah yuk ke atas...,” Ajak Arial. “Yuk!” Riani
yang paling semangat, dia males ngeliat Zafran jadi bengong begitu ketemu
Dinda. Akhirnya Arial mengajak
teman-temannya ke ruangan atas depan kamarnya yang selama ini mereka sebut
sebagai “The Chambers of Secret Sorcerer Stone” Kenapa? Karena semuanya
penggemar Harry Potter. Akhirnya mereka semua bermain monopoli disana.
Setelah bermain monopoli dan makan cemilan serta pizza,
mereka pun bosen. Mau nonton TV, bosen lagi. Nonton VCD, bosen juga. Cemilan
dan pizza udah abis sama Ian, jadi tinggal ngobrol, ngobrol dan ngobrol...
nggak jelas.
Karena
mereka sudah bosan akhirnya Arial mengajak pindah ke Secret Garden. Sambil
turun tangga Ian pesen ke Arial kalo dia pengen Indomie, dan Arial pun langsung
memberikan aba-aba ke pembantunya untuk membuat Indomie. Kalo Ian udah makan
Indomie seperti biasa Riani paling suka minta kuahnya, apalagi yang kari ayam.
Kemudian mereka pun beranjak ke Secret Garden. Sesampainya di Secret Garden
mereka duduk membentuk lingkaran, seperti biasa Riani duduk di sebelah Genta.
“Yan sebelum makan lo harus nyanyi dulu...” Arial langsung memberikan gitar
yang sudah satu paket dengan teh manis hangat dan Indomie-nya Ian. “Kiss of
life-nya Sade, Yan...,” Genta meminta “Jangan, Always-nya Atlantic Star
aja...,” imbuh Arial. “Fake plastic Tress-nya Radiohead aja,” Zafran dengan
mantap mau berkelam-kelam ria. “Yo’i...,” Riani setuju.
Diantara keindahan malam di Secret Garden mereka
bernyanyi. Ketika sedang bernyanyi, lagu Fake
Plastic Tress mengingatkan mereka pada sifat Ian sebelum bergabung ke dalam
geng mereka. Mereka berlima memang sudah menjalin persahabatan sejak bangku
SMA, namun diantara mereka berlima Ian merupakan ranger terakhir yang masuk
dalam geng “Power Rangers”. Sebelumnya mereka hanya berempat, namun setelah Ian
masuk sebagai anggota terkahir geng mereka, akhirnya mereka berlima sepakat
memberi nama geng ini dengan sebutan “Power Rangers”. Ian yang dulu adalah Ian
yang belum menemukan jati dirinya. Ian yang kadang-kadang cuma ikut nimbrung
nongkrong bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah orang yang ngga pede
sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang selalu
memandang orang lain lebih hebat dari dirinya. Namun teman-temannya selalu
berusaha mengingatkan Ian agar menjadi diri sendiri. Kalau ingat kejadian itu,
Ian menamkannya dengan “Finding Ian”. Dan sekarang Ian menjadi Ian yang apa
adanya...
**
Masih di
Secret Garden, Ian bernyanyi dengan gitarnya menambah suasana hangat malam itu.
Sampai akhirnya Indomie Ian datang, dan kalo Ian makan Indomie pasti Riani
langsung mengambil mangkok kosong yang udah disiapin pembantunya Arial buat
minta kuahnya. Setelah bernyanyi dan bercanda entah untuk keberapa kalinya
mereka mengalami De javu. Merek
merasa bosan karena kalau kemana-mana selalu berlima. “Gue sih nggak pernah
bosen sama kalian,” Arial menjawab. “Bukan sama orang-orangnya, tapi sama
kita-nya” Zafran mendesis pelan. “Iya nih kita standar-standar aja” Arial
nyambung lagi.
Zafran
tiba-tiba berkata, “Plato, seorang filsuf besar pernah bilang bahwa nantinya
dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang
berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Karena
mereka terbuai dengan segala kesenangan disana dengan apa yang telah mereka capai,
hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia,
tetapi diri mereka kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri mereka
sebenarnya... mereka nggak punya mimpi.”
“Mungkin
sebaiknya kita nggak usah ketemuan dulu,” Genta berkata. “Maksudnya?” Riani
menjawab. “Keluar dari gua kita untuk sementara.....,” Zafran melanjutkan. “Gue
mau...,” Arial menyambut dengan mantap. “Tapi gue nggak mau kehilangan kalian
semua,” Riani berkata pelan. “Ya enggak-lah,”.. “Kita keluar sebentar aja,
bermimpi lagi masing-masing tentang kita, nanti pas ketemu lagi, pasti lain
lagi, lain ceritanya, lain lagi orangnya,” kata Genta. “Gue setuju! Gue mau
PDKT lagi sama skripsi yang udah lama gue putusin” semangat Ian. “Untuk berapa
lama?” Pertanyaan yang susah ini bikin bingung semuanya. “Enam bulan!” usul
Zafran. “Enggak mau!” Riani langsung ngambek. “Tiga bulan aja,” tiba-tiba Ian
nyeletuk. “Setuju!” Arial langsung setuju. Genta mengangguk. Zafran pun setuju.
“Ya
udah, kalian jahat,” Riani menjawab dengan tegar. “Yee... tadi katanya mau,
sekarang bilang jahat, yang jahat disini kan nggak ada, kita kan ‘Power
Rangers”–pembela kebenaran,” Zafran mencoba bercanda dengan Riani. Akhirnya
Riani pun tersenyum manis sekali. “Tiga bulan dari sekarang kapan yah...tanggal
berapa?” “14 Agustus,” Arial menjawab.
Kita ketemu lagi tanggal 14 Agustus yah...,” Genta meyakinkan teman-temannya.
Akhirnya mereka sepakat tidak boleh bertemu dan saling berkomunikasi dalam
bentuk apapun selama tiga bulan, sampai tanggal 14 Agustus.
**
Selama
tiga bulan tidak bertemu mereka berlima mengejar mimpinnya masing-masing yang
belum tercapai. Ian berjuang menyelesaikan skripsinya untuk menjadi sarjana,
sementara Arial mengejar cintanya dari seorang wanita yang dia kenal di tempat
fitness yaitu Indy. Dalam kurun waktu
tiga bulan itu juga mereka menemukan hal baru dan diterpa rasa rindu.
Riani yang rindu dengan Genta dan Zafran yang rindu dengan Dinda adik dari
Arial.
*
Sabtu siang menjelang sore..
Arial
terjebak diantara kemacetan pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya yang memegang
stir keras merekam kepenatan di dalam dirinya. “Rumahnya jauh banget sih...,”
batin Arial dalam hati. Akhirnya setelah mobilnya berhasil melewati kpenatan
pintu tol Arial pun sampai di rumah Indy. Sudah satu bulan ini Arial memutuskan
untuk mengenal Indy lebih dekat–wanita
inceran Arial yang dikenalnya di tempat fitness.
“Halo,”
Arial menyapa Indy. “Kenapa lama?” “Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang
bokap nyokap?” “Lagi pada pergi. Udah langsung cabut aja.” “Ok... Ibu Indy...
saya siap mengantarkan Ibu Indy kemana aja...,” Arial bercanda seneng.
“Acaranya jam berapa? Sekarang udah jam lima lho?” “Abis
magrib” “Kamu udah ashar belum?” tanya Indy. “Belum... hehehe...,” sambil
tertawa kecil Arial menjawab pertanyaan Indy. Sekali lagi ini yang Arial suka
dari Indy, selalu mengingatkan dirinya untuk shalat – suatu kewajiban yang
sering dia tinggalkan. “Dasar... nggak apa, tapi nanti harus magrib yaa!”
“Iya,”. “Kamu belum cerita siapa yang ulang tahun?”. Temen SMA. Dia dulu
tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke Bogor,”. “Dia masih inget kamu?”
“Kita kan dulu deket banget, temen curhat gitu-lah.” “Oh... kirain tadi
acaranya jam 4....” “Jam 4? Emangnya ulang tahun anka kecil yang pake undangan
kartu kecil gitu sama jam kosong buat kita gambar sendiri jarumnya?” Arial pun
tertawa.
Setelah
melalui perjalanan yang cukup lama akhirnya mereka sampai, Kijang Arial
memasuki daerah perumahan di Cisangkuy yang rimbun. Memasuki rumah Asri yang
sedang berulang tahun, keramaian meyambut mereka.
“Halo
Indy... dateng juga lo. Sama siapa? Kenalin dong,” “Asri ini Arial. Arial ini
Asri.....”. Asri menggamit tangan Indy untk diculik ke belakang sebentar. “Lucu
banget, Dy...siapa tuh?” “Udah jadian belum....?” tanya Asri. “Tau nih
bingung...” “Kayaknya jadi temen aja deh...,” Indy berkata lembut. “Rugi lo,
atletis boo...,” celetuk Asri sambil melirik Arial. “Lo tau kan, buat gue fisik
nggak penting. Udah ah, kasihan tuh sendirian, mati gaya dia,” jawab Indy, lalu
berjalan ke Arial.
Setelah satu setengah jam di rumah Asri, mereka pun pamit
pulang...
“Mau
kemana lagi, Bu?” kata Arial. “Nggak tau nih. Tapi kau lagi males pulang.”
“Sama”. Tiba-tiba Arial punya ide cemerlang. “Ke Puncak aja yuk, kan deket.”
“Ngapain?” “Ada tempat, punya keluarga besar gue di sana, deket-deket puncak
pas. Kayak vila gitu deh. Kita ngobrol-ngobrol aja. Di jalan kita beli jagung
bakar, duren, sama bandrek. Gimana?”... “Tapi jangan macem-macem ya, Pak!” Indy
menatap mata Arial. “Maksudnya?”. Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya
sambil mengerutkan keningnya. Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan
baik nggak akan pernah punya pikiran macem-macem. “Nggak,”Indy menjawab. “Oke
kita ke Puncak,” kata Indy sambil menoleh dan tersenyum manis.
Akhirnya
mereka sampai di Puncak. Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang
berada di atas bukit kecil. Disana mereka berdua menikmati indahnya pemandangan
dari atas vila Arial yang ditemani oleh dinginnya udara malam di Puncak.
Obrolan dan candaan terus mengalir dari mulut mereka. Sampai Aakhirnya Arial
mencoba mengungkapkan perasaannya kepada Indy. Dan... Arial pun mencium kening
Indy. Indy masih rebah di bahu Arial, sambil menikmati keindahan malam.
**
Ian mencium tangan kedua orang tuanya, untuk berpamitan
ke kampus...
“Jadi... KAMU... mau... ganti... lagi... semuanya?”
“Enggak
juga sih Pak. Judulnya doang dikit, sama hubungan antarvariabelnya, ada juga
variabel yang ditambah,” Ian menjawab pertanyaan dari doen pembimbingnya. “Kamu
selama ini kemana aja Ian?” “Cuti pak,” Ian bohonh. “Cuti apa Ian?” “Bantu
orang tua di sawah...,” Ian bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana ada sawah
di Jakarta. Ian menyesal dalam hati. “Mana ada sawah di Jakarta?” “Ada Pak!”
Jawab Ian (cari gara-gara). “Kamu bohong Ian?” “Mm... iya Pak... saya
sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak. Jadi model bayi yang No Problem itu Pak,
yang lucu, tapi yang sekarang udah gede bayinya. Syuting iklannya di Jepang,
Pak. Di Satchi and Satchi, kan jauh itu Pak, jadi saya cuti.
Ian
bohong lagi. Tapi bohong yang ini rada-rada pinter karena dosennya percaya Ian
emang sangat mirip sama model bayi No Problem. Ian pun lega.
“Oh... begitu... benar?” “Iya Pak!” “Bangga juga Bapak
sama kamu. Jadi mau tambah satu variabel lagi?” “Iya, Pak!” “Oh... begitu...
variabel apa lagi yang kamu mau tambah?” “Saya mau tambah variabel kecerdasan
emosional, jadi nanti dilihat apa hubungannya sama Lima Disiplin Pembelajaran
Organisasinya Peter Senge. Efektif nggak untuk sebuah organisasi. Begitu
Pak,”Ian berbicara cepat. “Oh... begitu..,” “Iya Pak begitu,”.
“Kamu SD berapa tahun Yan?” tiba-tiba dosennya bertanya.
“Enam Pak. Emangnya kenapa?” “Kalo kamu menyelesaikan kuliah kamu enam tahun
juga, berarti kamu otak anak SD,”. Sang dosen bertanya lagi, “Dua bulan lagi
ada sidang... bisa dikejar empat bab dalam dua bulan Ian?”. Ian diem. Hmm, baik
juga nih dosen nyuruh sidang cepet-cepet. “Kalo kamu bisa, nanti saya bantu
banyak.” “Nggak tau yah Pak. Pusing juga, dua bulan empat bab, belum
kuisionernya.” “Cuma kamu saja anak bimbingan saya yang lama... lainnya Cuma
satu semester. Kamu udah bikin rekor nggak enak buat saya.” “Iya nih Pak.. Saya
nggak enak, saya juga dulu milih Bapak biar selesai satu semester, tapi kalo dua
bulan empat bab pusing juga, Pak,” jawab Ian. “Bisa.. “. nggak? Dosen Ian
menghardik galak. “Bisa deh Pak,” Ian jadi takut. “Bagus... sekarang taruh kata
bisa itu disini,” dosen Ian berkata sambil menunjuk ke jidatnya.
“Iya, Pak. Makasih, Pak.” “Kapan kamu nyerahin bab
duanya?” “Minggu depan, Pak.” “Enggak boleh empat hari lagi kamu ke sini... bab
dua kamu harus sudah selesai... ngerti.” “Hah???” Ian bengong. “Masa empat
hari, Pak?” “Kamu SD berapa tahun, Yan?” “Iya, iya deh Pak,” Ian nggak mau
denger kata-kata nyakitin lagi dari dosennya. “Ya udah sana... selamat sore
Ian.” “Sssore pak.” Ian membereskan berkas-berkas skripsinya dan pergi menjauh
dari ruangan dosennya.
Sesampainya
di rumah Ian langsung menuju komputernya yang ia namakan “Si kompibaiksekalitemenIan”
untuk menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda. Ian yang sedang intelek
sedikit gara-gara harus bikin skripsi, langsung mengganti gambar desktop yang
semula bergambar Sir Alex Ferguson
dengan gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan udah lulus dan
satu kampus sama Ian.
Setelah
mengerjakan bab I, keesokan harinya Ian menemui dosennya untuk menyerahkan bab
II. Ian pun bergegas menemui Pak Sukonto Legowo dosen pembimbingnya, bab II nya sudah bagus dan tidak ada revisi.
Alhasil Ian langsung disuruh melanjutkan bab III, namun Ian disarankan oleh
dosennya untuk menyebar kuisioner dulu sambil melanjutkan bab III. Ian pun
semakin senang karena sang dosen mau membantunya membuat kuisioner.
Dua hari
kemudian Ian sudah berada di kantor tempat ia melakukan penelitian untuk
menyerahkan kuisionernya. Lima hari berlalu... Ian yang sedang berkutat dengan
skripsinya mendapat tiba-tiba mendapat telepon. “Mas Dono ya? Udah selesai ya,
Mas?” “Kayaknya ada masalah Yan... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu,
padahal udah hampir terisi semua. Kuisionernya nggak boleh keluar dari kantor.
Data perusahaan yang ada di Ian juga disuruh tarik lagi.” “ Sori banget Yan.
Mas Dono udah coba argumen, tapi masih ditolak.” “Mas Dono bingung nih... nggak
enak dapat peringatan. Nanti malam data yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya?”.
Ian menarik napas panjang, “Udah bener-bener nggak bisa ya Mas?” “Mas Dono udah
coba berbagai cara”. Ian percaya mas Dono orangnya baik dan memang bisa
dipercaya. “Ya udah Mas, nggak apa-apa.” “Sori banget ya, Ian.”
Waktu
seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap, Ian pun patah semangat. Sejenak
bayangan teman-temannya melintas di benaknya: Genta... Zafran... Riani...
Arial. Gila... kangen banget gue sama mereka. Coba mereka ada disini. “Mas..
Jam berapa?” tiba-tiba Ian dikagetkan oleh seorang laki-laki berpakaian kerja.
“Jam enam kurang lima.” Jawab Ian. “Makasih ya Mas. Mas ada api?” “Ada!” jawab
Ian sambil merogoh sakunya. “Rokok Mas?” “Mm... iya Mas. Makasih.” “Pulang
kerja Mas?” “Yo’i” jawab jawab lelaki berkemeja itu. “Kerja dimana?” “Disana
tuh gedungnya...,” “Bagian apa mas?” “HRD”.
Mata Ian membeliak, sepancar wajah cerah terpancar. “Wah
kebetulan nih. Saya lagi bikin skripsi tentang HRD, tapi mau bagi kuisionernya
nggak ada yang mau nerima. Mas mau nggak?” “Boleh gue liat?” “Ini Mas,
kuisionernya.” “Lho? ini kan yang lagi diteliti tim gue di kantor. Wah,
bagus-bagus nih pertanyaannya... pas banget nih... gue sebarin di kantor gue
aja ya... oke?” “Tapi yang cepet ya Mas. Saya Cuma punya waktu sebulan lebih
dikit lagi... seminggu aja ya, Mas?” “Seminggu? Tiga hari juga kelar.”
Benar
saja tiga hari kemudian Ian mendapatkan kuisionernya sudah terisi lengkap,
kemudian Ian melanjutkan skripsinya hingga selesai. Hingga akhirnya waktu
sidang tiba... “Kira-kira 10 menit lagi giliran gue.” Ian pun mempresentasikan
tugas akhirnya dihadapan para penguji.
Jakarta menunggu sore. “Adrian Adriano...” “A!!!” “Yes!”
Ian bersorak gembira ketika nama dan hasil sidang diumumkan. Dan akhirnyaaaa..
Ian lulus. Ian juga tidak lupa berterima kasih kepada dosen pembimbingnya.
**
7 Agustus pukul 09.00.. Arial mengirim SMS kepada
teman-temannya.
Selamat
pagi semuanya gw kangeeeen bgt sama kalian semua, sumpah! Tgl 14 nanti kita
ketemu di stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus kalo ada acara dari 14-20
Agustus lo batalin dulu yaa. Please... ini yg harus dibawa kalo gak ada minjem
ya. Kan ada waktu seminggu: Carrier. Bajuanget yg banyak. Senter dan batere.
Makanan dan snack buat 4 hari... kacamata item. Betadine, obat sendal sepatu.
Kalo bisa mulai hari ini olahraga kecil-kecilan, apalagi buat Ian. Gitu aja ya.
Sampai ketemu di stasiun senen jam 2. Genta yg lagi kangen.
Send to many
Zafran,
Riani, Ian dan Arial yang mendapat SMS dari genta kaget bercampur senang, saat
mereka melihat kalender mereka sadar bahwa sekarang tanggal 07 Agustus dan
seminggu lagi mereka akan bertemu. Mereka semua sudah sangat rindu satu sama
lain dan akhirya mereka akan bertemu pada tanggal 14 Agustus di Stasiun Senen.
14 Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit.
Siang
itu daerah Senen panas sekali. Di Stasiun Senen Genta sedang menkmati makan
siang di salah satu restoran padang. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta.
“Jupleeeee!!!” Genta berteriak. “Halo Ta,” Zafran cekikikan senang menyalami
Genta. “Juple... gila ancur lo. Kangen gua sama lo, sama anak-anak...”.
“Genta!!!” “Zafran!!!” teriakan Ian dan Riani membuat Genta dan Zafran
tengak-tengok. “Ian...!” “Riani...!” Ian dan Riani berlari kecil memasuki
restoran padang. Riani langsung memeluk Genta dan Zafran. “Kangen... kangen...
jahat... jahat, kangen banget gue... kangen,”.
“Hercules
Gilaaaa...!!!” Zafran teriak. Sosok Arial memasuki restoran. “Arial...!” Riani
berdiri dan memeluk badan gede itu. “Genta... wah lo emang gila,” kata Arial.
“Halo men!” jawab Genta. “Juple!” “Apa kabar lo men?” tanya Zafran. “Baik, gue
mau cerita banyak nanti.” “Masa gue bisa kangen banget sama Rambo gila ini,”
cetus Ian. Arial menatap satu-satu temannya dan beujar, “Eh... oh iya, gue
ngajak seseorang buat ikut kita. Abisnya dia pengen banget ikut.” “Lho mana
orangnya?” semuanya penasaran. “Si Dinda gue ajak...” “Asik... dong! gue nggak
cewek sendiri,” Riani menyambut Arinda. “Halo semuanya... udah lama nggak
ketemu ya!” “Halo Dinda apa kabar?” semuanya menyapa Dinda. “Halo Bang Zafran.”
“Eh Dinda ikut?” “Iya...”. Riani tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dari
tadi sudah ditunggu-tunggu, “Kita sebenarnya mau ke mana sih?”.
Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam berangkat dari
Stasiun Senen. Mereka berangkat menaiki kereta ekonomi MATARMAJA yang entah
sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta. Dan akhirnya kereta pun
mulai berjalan perlaha meninggalkan Stasiun Senen...
“Ta,
kapan terkahir lo ke sana?” “Tiga tahun yang lalu, Ple. Bulan Agustus juga”
“Kalo bulan Agustus rame banget ya di
sana?” tanya Dinda. “Rame sih, tapi nggak rame banget.” “Kenapa Agustus?” “Kan
tiap tujuh belasan ada upacara di puncaknya,” Arial menjawab pertanyaan Dinda.
“Mas Ial kan belum pernah kesana.” “Diceritain Genta” “Berapa meter tingginya,
Ta?” “3676 m dari permukaan laut....” “Busyet, tinggi juga ya,” Zafran kaget
sendiri. “Tinggi banget...” Riani bengong, “Medannya berat nggak, Ta?” “Ya lumayanlah.”
“Kuat apa kita? Bawa paus lagi?” Zafran bercanda sambil menendang Ian. “Iya Ta,
gue kuat nggak Ta?” tanya Ian pasrah. Nggak tau ya, kayanya sih nggak. Makannya
lo gue suruh lari pagi dulu seminggu sebelumnya. Lari pagi nggak lo?” “Lari!”
“Setiap hari? Hebat juga lo!” “Enggak! Sehari doang” “Dasar paus!”.
“Dari dulu gue pengen banget ke sana” kata Arial. “Cuma
di puncak sana aja yang ada upacara tujuh belasan-nya?” Riani bertanya lagi.
“Enggak lah kalo kita jeli, hampir tiap puncak di Indonesia, tiap tujuh belasan
pasti ada yang naik untuk upacara. Pers aja jarang merhatiin, padahal keren
kalo dibuat liputan,” Genta berkata pelan. “Wah bagus tuh buat trip report gue,” kata Riani. “Kalo kita
nanti sampai di puncaknya, berarti kita berada di tanah paling tinggi di Pulau
Jawa.” Genta menatap tajam ke teman-temannya. “Oh jadi jadi puncak yang paling
tinggi di Jawa. Ta...” “Iya, Yan.” “Nama puncaknya apa Ta?” “Mahameru”.
Setelah
menempuh perjalanan yang panjang dari Jakarta ke Malang, pukul setengah tiga
lebih mereka akhirnya tiba di Stasiun Malang.
“Abis
ini kita kemana Ta?” Arial bertanya. “Gue lagi bingung nih... harusnya kita ke
stasiun bus Arjosari dulu, terus naik angkutan ke Tumpang.” “Tumpang itu daerah
mana?” “Tumpang itu kalo dari Malang gerbang masuknya TNBTS.” “Apa tuh?
Singkatan? Zafran bertanya. “Oh iya sori... Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru”. Lalu Genta dan Arial pergi keluar stasiun untuk mencari carteran
angkot. Sepuluh menit kemudian Genta dan Arial datang. “Dapet?” Arinda langsung
bertanya. “Dapet! Siip, murah lagi.” “Ayo... berangkat!”. Dan mereka semua
bernangkat menuju Tumpang dengan menggunakan angkot.
Matahari
sore masih tersisa sedikit, sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan.
Jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan. Karena jalan yang akan
ditempuh bukan jalan biasa lagi dan agak menanjak, maka mereka harus menaiki
jip untuk sampai ke atas. Rombongan ini pun berjalan ke arah jip yang telah
ditunjuk Genta, dan mereka bersiap untuk menempuh perjalanan kembali.
Dan akhirnya... mereka sampai di kaki Mahameru. “Ta...” “Iya
Yan.” “Nanti kita akan ke sana? Berdiri di puncak itu? Berdiri di sana?”
“Iya...” “Tinggi banget, Ta...” “Iya.” “Bisa apa kita, Ta?” “Yakin kita bisa?”
Genta menoleh kepada teman-temannya dan menatap satu-persatu. “Gue udah taruh
puncak itu dan kita semua ada d sisni.” Arial berkata pelan sambil menunjuk
jari ke keningnya. Genta tersenyum. “Kalo begitu... yang kita perlu sekarang
Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat
lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali
lebih keras dari baja.”
“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,”
sambung Zafran.
“Serta mulut yang akan selalu berdoa,” Dinda tersenyum
manis.
Setuju!!!
**
Malam
sudah datang menyapa mereka saat menjejakkan kaki di tanah Ranu Pane. Udara di
bawah lima belas derajat Celcius menyambut mereka di Ranu Pane. Keenam sahabat
ini pun bermalam di Ranu Pane dengan mendirikan tenda untuk tidur. Kemudian
mereka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh dan mereka beristirahat di
dalam tenda. Pada pukul 05.00 mereka semua bangun dan bergegas untuk mulai
mendaki gunung. “Siap semua?” Genta memegang kedua tali carrier dan menatap
teman-temannya. “Berangkat!”
Mereka
mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan
setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Sudah satu jam lebih mereka berjalan
tanpa henti. “Genta...break, Ta.
Hehh... hehh...,” napas Riani memacu satu-satu. “Iya Bang Genta, break dulu.” Keringat meluncur deras di
kening Arinda.”Oke sip. Itu di depan ada pohon. Kita break di situ”. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun
melanjutkan perjalanannya. Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan
punggung Mahameru. Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu
Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan
membesar di depan mereka.
Sesampainya
di Ranu Kumbolo, mereka beristirahat dan membuat makan siang. Udara Ranu Kumbolo
tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling danau
dengan beberapa batang pohon terjulur di atas danau. Setelah mengahbiskan makan
siang dan bercakap-cakap, Pukul tiga kurang lima mereka bersiap untuk
melanjutkan perjalanan. Zafran dan Genta melipat terpal, Arial dan Ian
membereskan kompor parafin, Riani dan Dinda membereskan sisa-sisa makan siang.
“Ta...” “Iya, Yan.” “Berapa lama lagi kita jalan?” “Kalo sampai puncak ya masih
setengah hari lagi...tapi nanti malam kita ngecamp dulu Arcopodo.” “Masih jauh
banget ya?” “Masih... jauh, nggak pakai banget.” “Siap?” sebentar mereka
menatap Ranu Kumbolo yang tenang selepas siang. Kemudian mereka kembali
melanjutkan perjalanan. “Berdoa dulu.” Semuanya tertunduk, memjamkan mata.
“Yuk....”
Mereka
mulai melangkah lagi, mulai berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo. Rombongan itu
langsung disambut oleh sebuah bukit tinggi dengan jalan setapak yang menanjak
curam membelah kumpulan ilalang liar yang tumbuh di badan bukit. “Gilee tinggi
juga ya...” “Agak curam” “Tanjakan cinta.” “Apaan Ta?” “Banyak yang menyebut
bukit ini tanjakan cinta.” “Hahaha... Kenapa Ta?” “Itu liat aja, Ple. Kalo dari
jauh bentuknya kayak lambang cinta.” “Iya juga sih.” Genta meneruskan, “Ada
lagi mitos satu yang mengatakan kalo kita terus mendaki tanpa melihat ke bawah
lagi maka segala mimpi tentang cinta kita akan terwujud.” “Hah yang bener?”
mata Ian dan Zafran berbinar-binar. “Iya, tapi ada satu lagi syaratnya. Selama
kita mendaki harus terus mikirin orang yang kita mau itu.” Ian dan Zafran pun
kegirangan dan mendaki sambil menyebut-nyebut orang yang mereka suka. Mereka
terus melangkah sambil berpikir keras. Ian memikirkan Happy Salma dan Zafran
melakukan hal yang sama, siapa lagi yang dipikirin kalo bukan Dinda.
“Fiuh,
fiuh, fiuh.” Atur napas satu-satu. “Capek juga ya Ple.” “Iya makannya jangan
cepet-cepet. Santai aja.” “Gilaa... berat juga mencari cinta. “Juplee!!...
Ndut!!! Wooy!!!” “Iya Taa...” Ian dan Zafran refleks menengok ke bawah. “Apa
Ta?” “Sampai ketemu di atas bukit ya...,” Genta berteriak lantang. Arial, Riani
dan Dinda tertawa terbahak-bahak, sementara Genta yang masih bingung bertanay
“Kenapasih?” “Wooy kenapa?”. Arial yang masih tertawa coba memberitahu Genta.
“Hahaha...gara-gara lo panggil, mereka berdua nengok ke bawahkan? Padahal kalo
mau keinginannya tercapai kan nggak boleh nengok ke bawah... hahaha...”.
“HAHAHA...,” tawa Genta meledak keras. “Gue... gue... enggak sengaja. Sumpah!
Hahaha... ancur... Gue emang mau manggil mereka berdua, sumpah nggak sengaja.” Ian
dan Zafran terduduk lemas di atas. Alhasil mereka pun kesal dan menyalahkan
satu sama lain.
Tak terasa langkah mereka semakin
berat kelelahan, mereka berada di ujung pinggiran bukit, di depan tampaklembah
kecil menganga seperti bekas sungai yang tak berair. Pasir dimana-mana,
pohon-pohon mati tampak melintang di jurang dalam seperti bekas sungai
tersebut. “Ih, tempat apa ini?” “Serem banget...” “Kita di... Kalimati.” “Di
Kalimati, dari sini kita bisa ngerasain Mahameru bergetar dan ngeluarin
hujan... hujan abu?” Genta memejamkan matanya dan mengambil kacamata.
Udara
menjelang maghrib menyapu mereka. Rombongan itu melangkah lagi, naik k tebing
Kalimati dan memasuki hutan cemara yang sudah mulai menggelap. Mereka terus
berjalan melewati dalam hutan, keluar melewati sebuah padang ilalang kecil.
Malam pun segera datang menyambut. Sampai akhirnya mereka sampai di Arcopodo,
sebuah bukit yang akan dijadikan tempat nge-camp
atau bermalam disana.
“Ki... ki... ta u... u... dah ting.. gi ba... nget ya...”
“Udah di tiga ribu meter.” Genta mengangguk. “Makannya udah tipis udaranya,
mulai susah napas.” Zafran menyalakan api unggun. “Rebus aja air yang banyak,
bikin teh manis untuk nanyi malam.” “Nanti malam memang ada apa?” “Nanti malam
kita naik... ke Mahameru.” “Jam berapa?” “Sekarang jam berapa?” “Jam delapan
kurang sepuluh.” “Berarti kita udah harus tidur sebelum jam sembilan... nggak
ada yang ngobrol-ngobrol lagi, semuanya tidur.” “Kita punya waktu istirahat lim
jam lebih. Kita nanti bangun jam setengah tiga dan langsung naik... Kita harus
istirahat supaya bisa sampai ke puncak.” Setelah menghabiskan makan malam,
mereka pun mulai memasuki tenda untuk beristirahat.
Pukul
02.30 malam, rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu
tertegun melihat Mahameru dalam gelap. Semua berkumpul membentuk lingkaran
kecil, tangan mereka saling berangkulan. Semuanya menunduk terdiam. Suara desis
doa terdengar sayup-sayup , mata mereka sedikit memburam. “Berangkat..!”
Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap dan terus
melanjutkan perjalanan mereka di antara dinginnya angin malam...
**
Arcopodo Mahameru. Tujuh Belas Agustus. Tanah Air ini.
This world is for those who want to fight
Sehabis
tertunduk, mereka mendongak ke atas. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan
pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. “Ada yang ingat
janji kita waktu di jip? Apa yang kita perlu untuk sampai ke puncak?” “Masih”
“Masih” “Apa?” “Yang kita perlu
sekarang Cuma kaki yang akan berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan
berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari
biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang
seribu kali lebih keras dari baja.”
“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari
biasanya....”
“Serta mulut yang akan selalu berdoa....”
Mereka pun tertunduk melihat satu sama lain, “Mahameru
kita datang!”
“Dari
sana dimulai pendakian.” Genta menunjuk ke sebuah jalan kecil seperti jembatan
yang menyembul di antara jurang dalam di kanan dan kirinya. “Kita harus
menyeberang jalan itu... hati-hati ya.” Semuanya berpegangan erat di rantai,
sampai akhirnya mereka semua sampai di ujung penyeberangan. “Selanjutnya
vertikal...,” Arial melihat ke atas, gundukan pasir dan batu gunung sekarang
berada di depannya. Jalan setapak tinggi berpasir itulah yang harus mereka
taklukan. “Hati-hati ya... semuanya”.
Saat
sedang mendaki tiba-tiba sebuah teriakan dari atas mengejutkan mereka , “Batu,
batu... awas!!!” “Rocks!!!” beberapa
batu kecil dan besar seukuran genggaman tangan jatuh dari jalur pendakian.
Semua pendaki mejatuhkan badannya ke samping. Buk... buk... gruduk. Genta tercekat. Dia lupa bilang tentang hal
ini. “Sori, emang nantinya banyak batu yang jatuh dari atas selama pendakian.
Hati-hati ya...” “Nggak bilang lo,” Zafran tampak terengah-engah. “Sori banget
lupa... Kalo denger kata ‘batu’ atau ‘rocks’ langsung aja nengok ke atas, liat
batunya jatuh ke mana terus mencoba menghindar, tapi jangan panik. Begitu juga
kalo kita yang bikin batu itu terkepas atau jatuh. Kita harus teriak supaya
yang di bawah denger dan nggak kena batu. Oke?”
Di dalam
pendakian tiba-tiba Arial meminta break. Dia tampak kedinginan, lalu Riani
memberikan minum dan kelima temannya langsung mendekati Arial agar dia terasa
hangat. “Udah berapa jauh, Ta?” “Hampir setengah.” “Masih setengah lagi?” “Liat
aja itu puncaknya. Kita udah hampir setengah, liat udah hampir subuh...,” Ian
menatap ke atas. “Gimana Rambo?” Arial masih menggeleng, sendinya terasa pegal.
Udara dingin terus menusuk-nusuk. “Pakai jaket gue nih.” Ian memberikan
jaketnya. “Lo gimana?” “Gue lapis lima.” “Inget lo kedinginan bukan kecapekan
ya. Lo pasti bisa ke puncak.” “Tambah lagi nih,” Zafran melepas sweaternya.
Arial yang sudah hampir tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke puncak,
tiba-tiba berdiri lagi setelah mendapatkan dorongan semangat dari kelima
temannya. Dan mereka pun kembali mendaki.
Hujan abu turun lagi. Bertambah deras, dan menimbulkan
gemeletak-gemeletak menyeramkan. "Gue di depan ya, Ta...” Arial tampak
semangat. “OK Bos!”
Malam
mulai beranjak pergi, dan udara pagi mulai menyapa mereka. “Break!” Arial
berteriak keras. Mereka berenam melepas lelah, udara hangat mulai menyapa.
Puncak Mahameru mulai terlihat terang. “Kita di ataas awan... kita di atas
awan...” “Keren banget.” “Iya, ini yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh
langit.” “Subhanallah...” “Keren banget.” Di antara lelah tak terhingga, mereka
mengucap syukur dan terima kasih. Kembali keajaiban Mahameru menyapa mereka.
Matahari
pagi tujuh belas Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa
badandingin mereka. “Yuk naik lagi, tinggal sedikit lagi...” “Tinggal
seperempat jalan lagi kayaknya.” “Betul!” mereka kembali mendaki. Kali ini
udara lebih hangat membuat mereka semakin semangat mendaki. Brug! Teriakan
panik terdengar dari atas. “Awas!!! Yang dibawah awas..!” Brug brrbklutuk
lklutuk....
“Batu!!!” “Awas...!!!” Puluhan batu sebesar ukuran kepala
manusia tampak berjatuhan dari atas mereka. Semua berusaha menghindar ke
samping, mencoba mencari perlindungan di bawah batu yang lebih besar. Brug...
brug... brug... “Awas! Awas! Batu!” Para pendaki yang berada di jalur pendakian
beretriak sekuat tenaga. Genta panik melihat banyaknya batu yang datang,
bayang-bayang teman-temannya tampak menghindar kesana kemari.
Hujan
batu dan pasir masih belum selesai. Gemuruh. Riuh. Lalu... keheningan memnuhi
jalur pendakian. Genta segera berdiri mencari kelima temannya, Ian dan Dinda
tampak tergeletak, menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di depannya dengan muka
penuh pasir. “Ni... Ni... nggak pa-pa kan?” Riani menggeleng dalam diam. Genta
menarik napas lega. Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukkan batu besar
dan menganggukan kepalanya untuk memberi tanda kepada Genta. Arial duduk dan
menggoyangkan tubuh adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan. Di sebelahnya
Ian dengan posisi yang sama.
“Ian...
Ian...” Ian masih terpejam. Semuanya tercekat melihat Ian masih tergeletak,
Dinda akhirnya sadar dan berkata pelan, terputus-putus, “I... i... i... an...
Ian a... ada... ba... ba... tu yang ke... ke... na ke... ke... palanya...”
Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. “Ian... Ian... Ian bangun, Yan!” “Please bangun, Yan!” “Ian, Ian!!!”
Zafran Riani dan Dinda menangis melihat Ian yang masih tak sadar. Ian... Ian...
bangun.. Ian, please...”
Riani,
Arial, Dinda dan Zafran berlari memeluk Genta. “Ta, Ian, Ta...” “Ian...” mata
mereka tak lepas memandang tubuh Ian yang masih tanpa gerakan sedikit pun. “Ian
janganpergi, Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!! Elo kan
mau wisuda, Yan.. jangan Yan, jangan... maafin gue, Yan... gue banyak salah...”
“Ian... nggak... boleh... pergi.” Genta kembali menangis.
“...IAAAAAAAAAANNNNNNNN!!!” Zafran berteriak keras ke langit. “Puih... puih...
kenapa lo, Ple? Bikin kaget aja... teriak-teriak. Puih... puih... pasir nggak
enak ya, Ple... Puih nggak lagi-lagi deh gue makan pasir. Nggak enak.”
“YEAAAAAH!!!”
suara sorakan gembira memenuhi jalur pendakian Mahameru... semuanya terlihat
lega. “YES!!!... YES!!!... YES!!!” Setelah Ian sadar, mereka berenam
kembali melanjutkan perjalanan mereka. Ian dan
Zafran terus mendaki, kali ini mereka tambah bersemangat setelah melihat bendera
merah putih yang dibawa oleh seorang mahasiswa yang memakai jaket almamater.
“This is it... the
end... of our journey...” Genta berehenti sebentar diantara dua buah batu
besar. Jalur pendakian tampak berhenti disitu. Mereka masih belum sampai
puncak, pemandangan puncak Mahameru masih tertutup gundukan tanah kecil di
depan mereka.
“Hanya beberapa langakah lagi... kita sampai di pucak...”
“Hold my hand please...” Riani tersenyum menggandeng
tanagn Dinda dibelakangnya, Dinda memegang tangan Ian, Zafran dan Arial terus
menyambung genggaman itu.
“Siaaap?” Genta tersenyum lepas... semuanya memandang
satu sama lain. Setengah berlari mereka bergandengan memasuki jalur akhir
pendakian yang tinggal sepuluh meter lagi.
Tujuh meter....
Lima meter....
Tiga meter....
...!!!!
“Dan.... kita di Mahameru....” Akhirnya mereka berhasil
mencapai puncak Mahameru untuk mengibarkan Sang Saka merah putih dan melakukan
upacara 17 Agustus di atas puncak Mahameru.
Tujuh belas Agustus. Setengah delapan malam.
Wajah-wajah
penuh ceria di antara nyala api unggun terlihat jelas di tanah surga Mahameru.
Keenam sahabat itu asik bercengkerama di tengah udara dingin Ranu Kumbolo.
Setelah selesai bercengkerama, satu-satu mereka masuk ke dalam tenda. Genta dan
Riani masih ingin menikmati malam yang indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua
duduk berdekatan di depan api unggun. “Thanks ya, Ta, buat ini semua.” Genta
mengangguk, matanya memandangi api unggun. “Kita sering banget berduaan begini
ya, Ta?” “Iya...” “Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada
tidur, kita masih sering ngobrol berdua,” ujar Riani lembut. Genta menarik
napas panjang, mengumpulkn keberaniannya. Genta menoleh ke tenda tempat
teman-temannya tertidur lelap.
“Riani...” Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penih
dengan ciptan-ciptaan keindahan argumen lembut mengalir deras. Riani yang
semenjak tadi mendengarkan,menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca,
tangan lembutnya memegang erat Genta. “Terima kasih, Ta” “Tapi... bukan...
kamu, Ta.” Genta seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riani. “Dia...
Zafran, Ta.” Genta tersenyum lembut, kekcewaannya luluh melihat kekuatan Riani.
**
Sepuluh tahun kemudian
Minggu pagi di Secret Garden.
“Arian!!! Jangan cabut tanaman... papa nggak suka...”
Arial menggendong buah hatinya yang berumur lima tahun. Keluarga besar itu
berkumpul di bungalow secret garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya,
sekarang mereka menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh
dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia. Semuanya saling
pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.
END......
ngebantu banget ni buat tugas bahasa :D tq
BalasHapusMakasih yaa . Ngebantu banget buat tugas bahasa Indonesia;)
BalasHapusKata mutiaranya apa aja kak?tolong dibales
BalasHapusUnsur intrinsik nya mana kak
BalasHapusThx bosssku, berkat elu, nilai gw jadi bagus krn maju duluan hwhwhw
BalasHapus