NAMA : IBNU AGUNG KURNIAWAN
KELAS : 4EA17
NPM : 13211430
TUGAS KE- : 4 / ETIKA BISNIS #
ABSTRAK
Ibnu Agung
Kurniawan. 13211430.
MORALITAS
KORUPTOR.
Jurnal,
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014.
Kata
Kunci: Moralitas, Koruptor
Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk
keuntungan bagi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri.
Seseorang yang melakukan korupsi berarti mereka telah mengambil sesuatu yang
bukan hak nya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka cenderung merasa tidak puas
dengan apa yang telah di dapatnya sehingga muncul keinginan untuk mendapatkan
sesuatu (baik uang maupun barang) yang lebih banyak lagi secara ilegal. Untuk
itu setiap orang perlu mempunyai moralitas yang baik agar tidak melakukan
hal-hal yang buruk seperti korupsi
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui mengapa korupsi bisa terjadi dan
mengapa sulit diberantas. Serta bagaimana dampaknya terhadap kegiatan bisnis
dan siapa pihak yang harus bertanggung jawab.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode
studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan data-data yang konkret
untuk keperluan penulisan ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari terutama dalam kehidupan sosial, manusia dihadapkan pada
norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Agar mempunyai acuan dalam
bertindak atau melakukan perbuatan sehingga tidak melangar aturan dan
norma-norma tersebut. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut
moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam
kehidupan sehari-harinya, jika seorang manusia tidak mempunyai moral maka dia
akan dianggap buruk oleh masyarakat.
Salah
satu tindakan yang menunjukkan kerusakan moral adalah korupsi. Korupsi
didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan bagi
kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri. Seseorang yang melakukan
korupsi berarti mereka telah mengambil sesuatu yang bukan hak nya untuk
memperkaya diri sendiri. Mereka cenderung merasa tidak puas dengan apa yang
telah di dapatnya sehingga muncul keinginan untuk mendapatkan sesuatu (baik
uang maupun barang) yang lebih banyak lagi secara ilegal.
Di
Indonesia korupsi bukan merupakan hal yang baru, kasus korupsi di Indonesia
yang sudah terjadi selama puluhan tahun berhasil diungkap satu per satu saat
reformasi digulirkan pada 1998. Peristiwa 1998 ini pun dianggap sebagai
peristiwa bersejarah, bahkan mampu menyebabkan hilangnya beberapa nyawa. Kasus
korupsi yang terbongkar dimulai dengan tuduhan korupsi yang dilakukan pemimpin
rezim Orde Baru, lalu beberapa kasus korupsi pejabat lain. Hingga saat ini
tindak korupsi yang ada di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, bahkan
cenderung bertambah. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari
segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat
Negara.
Kasus
korupsi tampaknya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia,
terutama yang menduduki posisi pejabat Negara. Baik dari pejabat kalangan bawah
seperti camat, lurah sampai pejabat di kalangan atas baik anggota DPR, MPR dan
bahkan para Menteri tidak terlepas dari kasus korupsi. Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa pemerintahan Presiden SBY merupakan salah
satu langkah maju bagi Indonesia dalam upaya memberantas korupsi. Meskipun
cukup banyak membongkar kasus korupsi dan menangkap para koruptor, namun tetap
saja masih banyak kasus-kasus korupsi yang lain. Bahkan mantan ketua KPK
Antasari Azhar yang menjadi pemimpin di lembaga ini juga melakukan korupsi. Ini
menunjukkan bagaimana bobroknya mental dan juga moral bangsa kita.
Untuk
itu setiap orang perlu mempunyai moralitas yang baik agar tidak melakukan
hal-hal yang buruk seperti korupsi. Koruptor yang biasa disebut orang yang
melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu. Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan
membahas jurnal tentang “Moralitas Koruptor”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas rumusan masalah pada penulisan ini adalah:
1.
Mengapa korupsi bisa terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab?
2.
Bagaimana dampak korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui mengapa korupsi bisa
terjadi dan megetahui siapa yang bertanggung jawab.
2.
Untuk mengetahui dampak negatif dari tindakan korupsi pada suat kegiatan
bisnis.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa
yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.”
Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan
sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau “tidak bermoral”. Secara umum, moral
dapat diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan
perilaku manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk atau benar dan salah. Moral
merupakan suatu tata nilai yang mengajak seorang manusia untuk berperilaku
positif dan tidak merugikan orang lain. Seseorang dikatakan telah bermoral jika
ucapan, prinsip, dan perilaku dirinya dinilai baik dan benar oleh
standar-standar nilai yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
2.2
Pengertian Moralitas
Moralitas berasal dari kata dasar
“moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang
berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain, akhlak
budi pekerti dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya.
Secara terminologi moralitas
diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut pandang
yang berbeda:
1. Franz Magnis
Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan
sikap seseorang atau sebuah masyarakat.
2. Menurut W.Poespoprojo
(1998: 18) Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
3. Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah
suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan tingka laku
kita.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dijelaskan bahwa moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan
dengan etiket atau adat sopan santun. Sementara dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat
perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah
(norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus kolektif, yang
pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.3
Moralitas Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari
kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas obyektif
adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai
konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi. Moralitas seperti
ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai
yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah
diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja
dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka
tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat
undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran
terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan
hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara
obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.4 Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara
konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal
budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang
mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati. Berbeda dengan moralitas
obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum
obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam
ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati
nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang
kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara
sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya
dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari
moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif
(sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu
ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani
manusia!
2.5 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption yang
berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti
penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu
tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan
penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain
yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Korupsi
berdasarkan
pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
- Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika. Agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk.
2.6 Dampak Korupsi Dalam Kegiatan Bisnis
Dengan
adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses
perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi
yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja
mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak
semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis
dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh
pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan
perusahaan seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh
pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan.
Hal
ini terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum
pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para
pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena
rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban
biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
2.7 Pihak yang Harus Bertanggung Jawab
Yang
harus bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan tugas dan
wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1.
Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi.
5.
Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Namun
memberantas korupsi bukan hanya kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
semata, tapi merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh elemen bangsa itu
sendiri. Peran kita sebagai harapan bangsa selain memberantas korupsi yang ada
dalam diri sendiri juga berkewajiban memberantas korupsi yang sudah menjadi
mata pencaharian para kelompok-kelompok orang tertentu. Membangun kesadaran
mengenai upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan sejak dini. Penanaman
nilai harus dilakukan kepada generasi muda yang notabene merupakan calon
penerus jalannya republik ditahun-tahun mendatang.
2.8
Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Salah
satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah
Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana
korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat
tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan
yang paling kecil di daerah.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek
korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Upaya
pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau
penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control
Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat.
Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan
di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan
pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran.
Di
samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga
internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan
dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar
mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara
antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA),
dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), dimana penulis
melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini melalui
referensi yang terdapat dari internet, buku-buku dan sumber lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Adapun pada penulisan ini penulis
mengambil contoh kasus: Dugaan Suap yang Menjerat Mantan Menteri Menakertrans,
Muhaimin Iskandar:
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 25 Agustus 2011 telah menangkap dua pejabat Kemenakertrans dan seorang pengusaha. Dalam penangkapan, salah satu tersangka I Nyoman Suisnaya, Sekretaris Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Transmigrasi, ternyata menyimpan uang senilai Rp 1,5 miliar di kantornya.
Komisi
antikorupsi menduga uang itu merupakan pelicin untuk memuluskan tender
dalam proyek pembangunan infrastruktur kawasan transmigrasi di 19
kabupaten/kota. Belakangan uang tersebut disebut untuk tunjangan hari
raya. Anggaran proyek ini dianggarkan Rp 500 miliar yang diambil dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011.
Kasus
suap pejabat Kementerian Transmigrasi ini diduga melibatkan Menteri Muhaimin Iskandar dan Badan Anggaran DPR. Para tersangka menyebut bahwa uang suap itu akan diberikan kepada Menteri Muhaimin. Disebut juga keterlibatan para
staf khusus Muhaimin maupun orang dekat wakil Ketua Banggar Tamsil Linrung. Muhaimin dan Tamsil telah membantah terlibat di kasus ini. Bahkan keduanya siap
diperiksa oleh KPK.
Muhaimin
Iskandar menyatakan siap bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus proyek pembangunan infrastruktur kawasan transmigrasi. Disebut-sebut turut terlibat dalam kasus proyek senilai Rp 500 miliar
yang telah menetapkan dua pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Muhaimin kembali menampiknya. Menurut Cak Imin namanya
sebagai menteri telah dicatut.
Untuk memberikan penjelasan duduk perkara, dia menyatakan siap diperiksa komisi antikorupsi. Muhaimin memaparkan, program percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) ini bukan kewenangan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kuasa pengguna anggaran dan pelaksana anggaran adalah pemerintah daerah. “Anggaran ini sama sekali belum dilaksanakan, baru akan dilakukan sosialisasi tanggal 13 nanti. Itu pun yang melaksanakan bukan Kemenakertrans, tapi Kemenkeu,” papar sang menteri.
Dana
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) yang diajukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pagu APBN-Perubahan 2011 dan disetujui Badan Anggaran DPR ternyata tidak dikomunikasikan dengan Komisi IX
DPR yang membidangi ketenagakerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Komisi
ini merasa “dilangkahi” oleh Kemenakertrans dan Badan Anggaran dalam pembahasan
dana sebesar Rp 500 miliar tersebut. “Ini benar-benar melanggar (aturan), karena
tidak sesuai dengan UU MD3. Jelas, Badan Anggaran (seharusnya) hanya membahas
alokasi anggaran yang sudah diputuskan Komisi,” kata Mamat Rahayu Abdullah,
anggota Fraksi Partai Golkar dalam rapat kerja dengan Menakertrans Muhaimin
Iskandar di ruang rapat Komisi IX DPR, Kamis, 8 September 2011. Komisi
Pemberantasan Korupsi menyita beberapa dokumen dan barang elektronik di Kantor Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di kawasan Kalibata, Kamis 8
September 2011. “Dokumen itu untuk mencari bukti dari penyidikan KPK,” kata Kepala Bagian KPK Priharsa Nugraha.
Penggeledahan
ini dilakukan untuk mencari bukti kasus suap sebesar Rp 1,5 miliar
terhadap dua pejabat Kementerian, I Nyoman Suisnaya dan Dadong
Irbarelawan dari seorang wakil kuasa PT Alam Jaya Papua, Dharnawati. Uang
ini diduga ada kaitannya dengan proyek pembangunan infrastruktur kawasan
transmigrasi di 19 kabupaten pada APBN-Perubahan 2011. Ketiganya dicokok
KPK pada 25 Agustus lalu.
Cakm
Imin begitu panggilan akkrabnya mengenal Ali dan Fauzi meski sebatas tim
asistensinya yang bersifat adhoc. Ali Mudhori mantan anggota DPR dan Fauzi
adalah staf sekretariat di Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengusut
keduanya.
Menakertrans
menjelaskan, dengan posisi keduanya sekarang, Ali Mudhori dan Fauzi tidak
berwenang dalam program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID)
Transmigrasi Tahun 2011 di Kemenakertrans senilai Rp500 miliar. Dia membantah
ada aliran uang yang masuk ke kantung pribadinya. Anggaran PPID sebesar Rp500
miliar itu merupakan kewenangan nomenklatur Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
sebagai dana penyesuaian daerah.“DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)- nya
juga menggunakan DIPA daerah, bukan Kemenakertrans,” ungkapnya. Ketua Komisi IX
DPR Ribka Tjiptaning mengungkapkan pernah mendengar salah satu staf ahli
Menakertrans yang mempunyai pengaruh kuat dalam pembahasan anggaran. “Ada
stafnya yang bisa melobi badan anggaran DPR. Kalau benar, itu sangat melanggar
undang-undang,” ungkapnya.
Muhaimin mengatakan:
“khusus untuk Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) sebesar
Rp 500 miliar dalam APBN-Perubahan tahun 2011, administrasinya
memang sangat cepat, sehingga kementeriannya tak sempat memberikan surat
tembusan ke Komisi Ketenagakerjaan. “Kami lalai, mohon kami dimaklumi dan dimaafkan.
Ini pengalaman pertama menerima alokasi dana di daerah yang berbasis transmigrasi, sehingga tak sempat memberi surat-surat administrasi kepada
Komisi IX (Ketenagakerjaan),” kata Muhaimin. “Kami akan membenahi apabila anggaran ini
mendapatkan perhatian di daerah transmigrasi.”
mendapatkan perhatian di daerah transmigrasi.”
Muhaimin
memastikan tak akan ada lagi kasus-kasus yang mengatasnamakan
kementeriannya untuk kepentingan segelintir oknum seperti yang terjadi
saat ini. “Saya akan bertanggung jawab dalam konteks semua, saya mohon
maaf kalau ada anak buah yang memanfaatkan informasi. Saya tidak
tanggung-tanggung akan membersihkan siapapun yang terlibat dalam kasus
ini,” kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Soal
pengaturan staf, Muhaimin menjelaskan sejak 2010 di kementeriannya tidak boleh
lagi ada staf yang mengatasnamakan menteri dalam penyusunan
program-program kerja. Sejak itu, Muhaimin menjamin keberadaan staf-staf
ahli di kementeriannya sudah jelas. “Apakah dua orang (pejabat Kemenakertrans) itu ditarik-tarik saja, atau
ditarik-tarik dan tertarik, silakan KPK telusuri. Kalau terkait saya,
silakan ditindak hukum secara adil,” ujar dia.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono meminta para menteri yang tersandung kasus hukum
memberikan klarifikasi kepada publik. Hal ini juga berlaku bagi Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang diduga terlibat kasus dugaan
suap senilai Rp 1,5 miliar dalam Program Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah Transmigrasi. Julian mengatakan, Presiden telah
mengutarakan hal ini kepada Muhaimin, pada Selasa (6/9/2011) kemarin seusai
sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden. Terkait menteri-menteri yang
tersangkut kasus ini, hal ini akan menjadi salah satu poin evaluasi kementerian
yang dilakukan Presiden secara berkala.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari contoh kasus di atas
menunjukkan bagaimana lemahnya atau buruknya moral bangsa ini. Bahkan seorang
mantan menteri yang harusnya bertugas membantu presiden untuk mensejahterakan
rakyat, justru terlibat dalam kasus korupsi bersama staf-staf nya. Ini semakin
membuktikan bahwa kalangan pejabat negara baik yang di atas maupun yang di
bawah tidak pernah terlepas dari kasus korupsi. Semakin tingi jabatan maka
semakin tingi pula godaan. Untuk itu pendidikan moral harus ditanamkan sejak
usia dini, agar tidak membuat kita melakukan perbuatan yang tidak bermoral
seperti korupsi dan adanya pengawasan serta hukuman yang tegas bagi para
koruptor.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas
penulis memberikan saran yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap
individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga
mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan
moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan
mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil. Selain itu hukuman
yang diberikan kepada koruptor harus tegas agar memberikan efek jera. Seperti
diasingkan ke tahanan di sebuah pulau terpencil khusus para koruptor, member
hukuman penjara yang tidak sebentar dan memiskinkan para koruptor tersebut,
karena para koruptor adalah musuh bangsa yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Koran Anak Indonesia. 2011. Muhaimin Iskandar Sang Menteri yang Terjerat Dugaan Suap. Dalam
http://korananakindonesia.com/2011/09/09/muhaimin-iskandar-sang-menteri-yang-terjerat-dugaan-suap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar